Rabu, 06 Oktober 2010

Kamis, 02 September 2010

Puasa

Puasa, suatu kegiatan yang mengambarkan manusia yang mematuhi perintah Allah SWT pada bulan Ramadhan, merasakan perut yang lapar cukup lama, tenggorokan kering menahan haus selama 12 jam, pada negara tertentu (seperti di Rusia) sampai 14 jam lamanya, berusaha tidak tergoda oleh syahwat. Jadi demikianlah bila berniat agar jasmani dapat dibimbing untuk dikendalikan, tubuh (daging) dan isinya (organ dalam) harus dituntun oleh Ruh. Kalau tidak dapat dikendalikan maka akan dekat dengan perilaku buruk (dosa).

Selama satu bulan selama terbit matahari sampai tenggelam menolak semua dorongan jasmani, dan diisyaratkan untuk dapat menerima yang "Rohani" saja, tanpa melupakan kegiatan rutin kerja sehari-hari. Mulai dari jam 4 subuh, masjid dan surau dipenuhi suara orang yang menyebut nama Tuhan, ibadah sunah dianjurkan, iman diteguhkan, syariat dijalankan. Banyak yang harus kita tangkal seperti ayam goreng, sate kambing, video porno, menjaga kata-kata, dst.

Pertanyaannya adalah, apakah bisa daging dan semua organnya diacuhkan? Dapatkah tubuh ini kita lihat terpisah? Coba kita perhatikan, sepertinya ada yang terlewatkan disini. Bukankah pada bulan Ramadhan ini seluruh jasmani diam-diam mempersiapkan suatu cara untuk melawannya (resistance) tanpa yang bersangkutan menyadarinya?


Perhatikan pada tempat-tempat (pusat-pusat) perbelanjaan mewah (mall) ataupun warteg yang berada di kaki-lima. Maka kita akan melihat betapa ramai dan lengkapnya bermacam-macam makanan lezat yang belum tentu kita jumpai sehari-hari diluar bulan Ramadhan.


Bulan ramadhan sekarang sudah menjadi sebuah "Paradoks", karena sewaktu orang diwajibkan untuk menahan hawa nafsu, yang meningkat malahan kreatifitas menyiapkan hidangan untuk berbuka dan bersahur, sampai omzet dari perdagangan berbagai macam makanan dapat meningkat hingga 60%. Begitu banyak orang berbelanja ekstra untuk dapat mebuat meriah meja makan ketika berbuka puasa (iftar) dan sahur.


Seolah-olah di Indonesia Ramadhan sudah menjadi sebuah periode ketika orang berusaha untuk dapat mendapatkan sebuah kompensasi khusus. Jadi muncul sebuah anggapan bahwa dengan adanya pengekangan terhadap badan yang sedang berpuasa sepanjang 30 hari, adalah sebuah bentuk "deprivasi", artinya terjadi sebuah pencabutan hak hidup yang normal, kemudian kita merasa harus diagungkan (dihormati) dan menginginkan suatu imbalan yang memuaskan dari pihak lain kepada kita.


Diatas semua yang diuraikan tadi, terutama di Indonesia, bagi orang-orang yang menganggap bahwa kewajiban berpuasa adalah sebuah "deprivasi" yang berat maka akan bersikap seperti anak-anak yang manja atau seperti seorang korban yang memiliki rasa dendam. Mereka ini meminta diperlakukan sebagai suatu tingkat kelas tersendiri. "Hormatilah orang yang sedang berpuasa!", tertulis pada spanduk dimana-mana. Maksudnya tentu supaya "jangan menggoda atau merayu orang-orang yang sedang menjalakan puasa sehingga menjadi batal puasanya".


Kelihatannya berpuasa itu telah berubah maknanya, karena menahan haus dan lapar sudah tidak diiringi dengan niat, ikhlas dan tekad yang sungguh-sungguh untuk melawan godaan yang dihadapi, akan tetapi sudah berubah menjadi sikap ketakutan akan adanya godaan selama waktu berpuasa. Di bulan yang mulia ini orang-orang mengatakan bahwa niat mereka didalam menjalankan puasa adalah untuk Allah SWT (ikhlas) akan tetapi nyatanya orang-orang ada yang merasa berhak mengklaim proteksi dari kekuatan diluar diri mereka melalui (bantuan) kebijakan negara, bantuan ormas-ormas dengan ID Islam.


Dan apakah yang terjadi pada lingkungan sosial kita!

Semua tempat-tempat hiburan malam diharuskan untuk tutup sepanjang Ramadhan. Kalau kita perhatikan bahkan panti pijat yang selalu digunakan oleh keluarga (juga anak-anaknya) dilarang membuka praktek. Akibatnya para juru pijat yang umumnya adalah ibu-ibu yang bekerja untuk sedikit menambah penghasilan nafkah didalam keluarganya menjadi berkurang pendapatnya. Misalnya, di daerah Bekasi, banyak para pemilik beserta pegawai industri hiburan kecil-kecilan atau menengah mengeluh, coba bayangkan selama 30 hari mereka kehilangan penghasilan, tentunya kegelisahan mereka membuat mereka berani mengeluh. Padahal mereka tentunya berhak untuk dapat bergembira di hari Idul Fitri karena merekapun menjalakan puasa selama sebulan.


Keadaannya menjadi tidak wajar, karena puasa telah berubah menjadi semacam privilege (hak-istimewa). Orang-orang yang berpuasa ini bukan saja harus dihormati secara istimewa, bahkan orang lain harus bersedia berkorban untuk mereka yang berpuasa!


Masalahnya akan berbeda total, kalau kita menganggap bahwa berpuasa dengan sudut pandang lain, yaitu berpuasa bukan sebagai sebuah deprivasi seseorang, akan tetapi sebagai salah satu ikhtiar kita untuk dapat mengurangi apa-apa yang dirasakan dan dilakukan selama ini berlebih-lebihan didalam diri. Atau dapat kita katakan, inilah puasa sebagai pilihan sikap yang dapat mencegah keserakahan diri. Bahkan bisa kita katakan inilah puasa sebagai ujian untuk dapat mereduksi sifat-sifat agresifitas didalam menghadapi situasi dunia - agresifitas yang selalu ingin mengambil materi dunia menjadi milik dan bagian dari target konsumsi.


Secara prinsip didalam puasa reduktif ini, kita sebenarnya sedang melanjutkan pesan Nabi SAW, yaitu untuk berhenti makan sebelum perut kita kenyang dan ada kesamaan dengan pesan Gandhi untuk menyadari bahwa dunia ini sangat terbatas, "Bumi cukup untuk kebutuhan setiap orang, akan tetapi tidak akan pernah cukup untuk ketamakan tiap orang".


Puasa semacam ini tentunya tidak akan diakhiri dengan kemenangan yang dirayakan dengan Idul Fitri yang dipenuhi kecongkakan atau kesombongan. Puasa adalah suatu proses untuk menghindari keserakahan dan agresifitas, maka tidak akan meneriakan suara kemenangan, khususnya kemenangan diri sendiri, subjek yang merasa super dan telah mengalahkan tubuhnya sendiri.


Kalau kita ingat kata-kata Chairil Anwar pada "Aku" di pintu Tuhan, puasa seperti itu akan "Hilang bentuk, remuk". Akan tetapi bukan berarti "Hilang bentuk, remuk" itu sedang menunjukan wajah manusia yang tertindas dan menjadi aneh bagi dirinya sendiri.


Ada anggapan dari Marx bahwa didalam agama (sebagai bentuk pengasingan diri), wujud manusia menjadi hilang, "Semakin banyak yang dicurahkan manusia kepada Tuhan, maka semakin sedikit yang dapat ia sisakan bagi dirinya sendiri....". Akan tetapi disini Marx salah. Diabad ini yang kita saksikan malahan kebalikannya, semakin banyak yang dicurahkan manusia kepada Tuhan, malah semakin menggelembung manusia menjadi subjek yang berisi, perkasa dan agresif.


Barangkali inilah sebabnya kebanyakan mereka yang berpuasa saat ini juga terlihat seperti orang-orang yang ingin berkuasa. Terkecuali kalau puasa dapat membuat kita sadar, bahwa kita tidak pernah bisa utuh sendirian, "Aku selalu bersama-sama segala kekuranganku".


Kita ini, roh yang juga daging di badan, terbentuk oleh unsur-unsur yang sama dengan unsur-unsur yang ada di dunia. Kita yang dapat merasa lapar juga haus adalah seperti mahkuk-mahkluk pada umumnya. Saling terkait kepada "yang lain", jadi bukan hanya kesadaran kita. Kita sangat terkait dengan organ pencernaan, detak jantung, arus aliran darah, pengalaman, trauma dan juga ingatan masa lalu kita. Disamping itu juga dengan situasi diluar tubuh kita seperti cuaca, lingkungan fauna dan flora, semua benda-benda yang berada disekitar kehidupan kita. Kita berada di bumi, dikolong langit, berada diantara mahkluk lainnya yang fana, di hadapan Tuhan - sebuah variasi dari das Geviert Heidegger. Dalam posisi itu, aku bisa merasakan bumi, langit, sesama makhluk dan rahmat Tuhan mengasuhku. Dan aku bisa damai menghilangkan ketamakan dan agresifitasku.


Puasa Sesungguhnya

Maka disinilah puasa sesungguhnya, yang tidak akan diiringi keinginan untuk mendapatkan kompensasi (bantuan) yang memuaskan bagi tubuh manusia yang sedang merasakan tertindas dan terasing oleh Ramadhan. Di sini juga, puasa sesungguhnya yang tidak diawali dengan merasa keseharian direnggut, hanya disebabkan karena mulut dilarang menelan makanan, lidah dilarang merasakan kelezatan. Di sini juga, puasa sesungguhnya adalah pertemuan kembali dengan tubuh yang lemah, akan tetapi bukan untuk kita kurung dan untuk diawasi.


Maka bagaimanakah kita bisa untuk mendapat malam Lailatul Qadr diantara hari-hari sepuluh hari terahkir bulan Ramadhan, apabila pada puasa kita masih ada kemanjaan, meminta proteksi dan terlebih lagi ada orang lain dalam jumlah banyak dikorbankan dengan paksaaan, terkadang dengan kekerasan, hanya untuk menghormati puasa kita?


Wassalam,
Jonie S

Copas dari milis TIATENAS75_83

Iklan 2