Puasa,   suatu kegiatan yang mengambarkan manusia yang mematuhi perintah Allah  SWT   pada bulan Ramadhan, merasakan perut yang lapar cukup lama,  tenggorokan   kering menahan haus selama 12 jam, pada negara tertentu (seperti di  Rusia)   sampai 14 jam lamanya, berusaha tidak tergoda oleh syahwat. Jadi  demikianlah   bila berniat agar jasmani dapat dibimbing untuk dikendalikan, tubuh  (daging)   dan isinya (organ dalam) harus dituntun oleh Ruh. Kalau tidak dapat   dikendalikan maka akan dekat dengan perilaku buruk (dosa).
Selama satu bulan selama  terbit matahari sampai   tenggelam menolak semua dorongan jasmani, dan diisyaratkan untuk dapat   menerima yang "Rohani" saja, tanpa melupakan kegiatan rutin kerja   sehari-hari. Mulai dari jam 4 subuh, masjid dan surau dipenuhi suara  orang   yang menyebut nama Tuhan, ibadah sunah dianjurkan, iman diteguhkan,  syariat   dijalankan. Banyak yang harus kita tangkal seperti ayam goreng, sate  kambing,   video porno, menjaga kata-kata, dst.
Pertanyaannya adalah,  apakah bisa daging dan   semua organnya diacuhkan? Dapatkah tubuh ini kita lihat terpisah? Coba  kita   perhatikan, sepertinya ada yang terlewatkan disini. Bukankah pada  bulan   Ramadhan ini seluruh jasmani diam-diam mempersiapkan suatu cara untuk   melawannya (resistance) tanpa yang bersangkutan menyadarinya?
  
  
Perhatikan pada  tempat-tempat (pusat-pusat)   perbelanjaan mewah (mall) ataupun warteg yang berada di kaki-lima.  Maka kita   akan melihat betapa ramai dan lengkapnya bermacam-macam makanan lezat  yang   belum tentu kita jumpai sehari-hari diluar bulan Ramadhan. 
  
  
Bulan ramadhan sekarang  sudah menjadi sebuah   "Paradoks", karena sewaktu orang diwajibkan untuk menahan hawa   nafsu, yang meningkat malahan kreatifitas menyiapkan hidangan untuk  berbuka   dan bersahur, sampai omzet dari perdagangan berbagai macam makanan  dapat   meningkat hingga 60%. Begitu banyak orang berbelanja ekstra untuk  dapat   mebuat meriah meja makan ketika berbuka puasa (iftar) dan sahur.
  
  
Seolah-olah di Indonesia  Ramadhan sudah menjadi   sebuah periode ketika orang berusaha untuk dapat mendapatkan sebuah   kompensasi khusus. Jadi muncul sebuah anggapan bahwa dengan adanya   pengekangan terhadap badan yang sedang berpuasa sepanjang 30 hari,  adalah   sebuah bentuk "deprivasi", artinya terjadi sebuah pencabutan hak   hidup yang normal, kemudian kita merasa harus diagungkan (dihormati)  dan   menginginkan suatu imbalan yang memuaskan dari pihak lain kepada kita.
  
  
Diatas semua yang diuraikan  tadi, terutama di   Indonesia, bagi orang-orang yang menganggap bahwa kewajiban berpuasa  adalah   sebuah "deprivasi" yang berat maka akan bersikap seperti anak-anak   yang manja atau seperti seorang korban yang memiliki rasa dendam.  Mereka ini   meminta diperlakukan sebagai suatu tingkat kelas tersendiri.  "Hormatilah   orang yang sedang berpuasa!", tertulis pada spanduk dimana-mana.  Maksudnya   tentu supaya "jangan menggoda atau merayu orang-orang yang sedang   menjalakan puasa sehingga menjadi batal puasanya".
  
  
Kelihatannya berpuasa itu  telah berubah   maknanya, karena menahan haus dan lapar sudah tidak diiringi dengan  niat,   ikhlas dan tekad yang sungguh-sungguh untuk melawan godaan yang  dihadapi,   akan tetapi sudah berubah menjadi sikap ketakutan akan adanya godaan  selama   waktu berpuasa. Di bulan yang mulia ini orang-orang mengatakan bahwa  niat   mereka didalam menjalankan puasa adalah untuk Allah SWT (ikhlas) akan  tetapi   nyatanya orang-orang ada yang merasa berhak mengklaim proteksi dari  kekuatan   diluar diri mereka melalui (bantuan) kebijakan negara, bantuan  ormas-ormas   dengan ID Islam.
  
  Dan apakah yang terjadi  pada lingkungan sosial   kita!
  
Semua tempat-tempat hiburan  malam diharuskan   untuk tutup sepanjang Ramadhan. Kalau kita perhatikan bahkan panti  pijat yang   selalu digunakan oleh keluarga (juga anak-anaknya) dilarang membuka  praktek.   Akibatnya para juru pijat yang umumnya adalah ibu-ibu yang bekerja  untuk   sedikit menambah penghasilan nafkah didalam keluarganya menjadi  berkurang   pendapatnya. Misalnya, di daerah Bekasi, banyak para pemilik beserta  pegawai   industri hiburan kecil-kecilan atau menengah mengeluh, coba bayangkan  selama   30 hari mereka kehilangan penghasilan, tentunya kegelisahan mereka  membuat   mereka berani mengeluh. Padahal mereka tentunya berhak untuk dapat  bergembira   di hari Idul Fitri karena merekapun menjalakan puasa selama sebulan.
  
  
Keadaannya menjadi tidak  wajar, karena puasa   telah berubah menjadi semacam privilege (hak-istimewa). Orang-orang  yang   berpuasa ini bukan saja harus dihormati secara istimewa, bahkan orang  lain   harus bersedia berkorban untuk mereka yang berpuasa!
  
  
Masalahnya akan berbeda  total, kalau kita   menganggap bahwa berpuasa dengan sudut pandang lain, yaitu berpuasa  bukan   sebagai sebuah deprivasi seseorang, akan tetapi sebagai salah satu  ikhtiar   kita untuk dapat mengurangi apa-apa yang dirasakan dan dilakukan  selama ini   berlebih-lebihan didalam diri. Atau dapat kita katakan, inilah puasa  sebagai   pilihan sikap yang dapat mencegah keserakahan diri. Bahkan bisa kita  katakan   inilah puasa sebagai ujian untuk dapat mereduksi sifat-sifat  agresifitas   didalam menghadapi situasi dunia - agresifitas yang selalu ingin  mengambil materi   dunia menjadi milik dan bagian dari target konsumsi.
  
  
Secara prinsip didalam  puasa reduktif ini, kita   sebenarnya sedang melanjutkan pesan Nabi SAW, yaitu untuk berhenti  makan   sebelum perut kita kenyang dan ada kesamaan dengan pesan Gandhi untuk  menyadari   bahwa dunia ini sangat terbatas, "Bumi cukup untuk kebutuhan setiap   orang, akan tetapi tidak akan pernah cukup untuk ketamakan tiap  orang".
  
  
Puasa semacam ini tentunya  tidak akan diakhiri   dengan kemenangan yang dirayakan dengan Idul Fitri yang dipenuhi  kecongkakan   atau kesombongan. Puasa adalah suatu proses untuk menghindari  keserakahan dan   agresifitas, maka tidak akan meneriakan suara kemenangan, khususnya   kemenangan diri sendiri, subjek yang merasa super dan telah  mengalahkan   tubuhnya sendiri.
  
  
Kalau kita ingat kata-kata  Chairil Anwar pada   "Aku" di pintu Tuhan, puasa seperti itu akan "Hilang bentuk,   remuk". Akan tetapi bukan berarti "Hilang bentuk, remuk" itu   sedang menunjukan wajah manusia yang tertindas dan menjadi aneh bagi  dirinya   sendiri.
  
Ada anggapan dari Marx bahwa didalam  agama (sebagai   bentuk pengasingan diri), wujud manusia menjadi hilang, "Semakin  banyak   yang dicurahkan manusia kepada Tuhan, maka semakin sedikit yang dapat  ia   sisakan bagi dirinya sendiri....". Akan tetapi disini Marx salah.  Diabad   ini yang kita saksikan malahan kebalikannya, semakin banyak yang  dicurahkan   manusia kepada Tuhan, malah semakin menggelembung manusia menjadi  subjek yang   berisi, perkasa dan agresif.
  
  
Barangkali inilah sebabnya  kebanyakan mereka   yang berpuasa saat ini juga terlihat seperti orang-orang yang ingin  berkuasa.   Terkecuali kalau puasa dapat membuat kita sadar, bahwa kita tidak  pernah bisa   utuh sendirian, "Aku selalu bersama-sama segala kekuranganku".
  
  
Kita ini, roh yang juga  daging di badan,   terbentuk oleh unsur-unsur yang sama dengan unsur-unsur yang ada di  dunia.   Kita yang dapat merasa lapar juga haus adalah seperti mahkuk-mahkluk  pada   umumnya. Saling terkait kepada "yang lain", jadi bukan hanya   kesadaran kita. Kita sangat terkait dengan organ pencernaan, detak  jantung,   arus aliran darah, pengalaman, trauma dan juga ingatan masa lalu kita.   Disamping itu juga dengan situasi diluar tubuh kita seperti cuaca,  lingkungan   fauna dan flora, semua benda-benda yang berada disekitar kehidupan  kita. Kita   berada di bumi, dikolong langit, berada diantara mahkluk lainnya yang  fana,   di hadapan Tuhan - sebuah variasi dari das Geviert Heidegger. Dalam  posisi   itu, aku bisa merasakan bumi, langit, sesama makhluk dan rahmat Tuhan   mengasuhku. Dan aku bisa damai menghilangkan ketamakan dan  agresifitasku.
  
  Puasa Sesungguhnya
  
Maka disinilah puasa  sesungguhnya, yang tidak   akan diiringi keinginan untuk mendapatkan kompensasi (bantuan) yang  memuaskan   bagi tubuh manusia yang sedang merasakan tertindas dan terasing oleh   Ramadhan. Di sini juga, puasa sesungguhnya yang tidak diawali dengan  merasa   keseharian direnggut, hanya disebabkan karena mulut dilarang menelan  makanan,   lidah dilarang merasakan kelezatan. Di sini juga, puasa sesungguhnya  adalah   pertemuan kembali dengan tubuh yang lemah, akan tetapi bukan untuk  kita   kurung dan untuk diawasi.
  
  
Maka bagaimanakah kita bisa  untuk mendapat malam   Lailatul Qadr diantara hari-hari sepuluh hari terahkir bulan Ramadhan,   apabila pada puasa kita masih ada kemanjaan, meminta proteksi dan  terlebih   lagi ada orang lain dalam jumlah banyak dikorbankan dengan paksaaan,   terkadang dengan kekerasan, hanya untuk menghormati puasa kita?
  
  Wassalam,
  Jonie S
Copas dari milis TIATENAS75_83
Tidak ada komentar:
Posting Komentar